Thomas Sembiring, Kordinator Eksekutif JN |
“Human rights are not only violated by terrorism, repression or assassination, but also by unfair economic structures that creates huge inequalities” Pope Francis, The Guardian
Pada tahun 2009 Paus Fransiskus yang masih menjadi seorang
Kardinal mengecam pemerintahan Néstor Kirchner, suami Presiden Argentina saat
ini Cristina Fernández de Kirchner. Kecaman itu tak lain disebabkan oleh
kesenjangan yang semakin melebar di negara Amerika Latin tersebut. Perekonomian
menunjukkan gejala ketidakadilan dimana kaum miskin semakin jauh dari hak-haknya
untuk mendapatkan kesejahteraan. Pernyataannya tersebut sempat menjadi tajuk
utama pemberitaan di negara tersebut. Paus yang hidup dengan satu paru-paru ini
mengecam kebijakan rezim yang berlangsung dengan menyebutnya sebagai sebuah
tindakan yang tidak bermoral dan tidak adil.
Beberapa tahun dari peristiwa tersebut, Jesuit yang bersahaja
itu menjadi salah satu pemimpin gereja yang fenomenal. Sikapnya yang luwes dan
tidak terjebak oleh protokoler kepausan telah mengundang mata dunia pada tahta
suci di Roma yang tengah menghadapi berbagai tantangan. Sekarang dimana Paus
Fransiskus berdiri sebagai pemimpin, tanpa segan ia melakukan otokritik juga
terhadap praktik-praktik ketidakadilan yang berlangsung dalam tubuh gereja yang
dicintainya. Beberapa langkah penting dan
pesannya secara lugas menunjukkan hasratnya untuk membawa gereja secara lebih nyata menjadi bagian dari solusi persoalan ketidakadilan dunia.
pesannya secara lugas menunjukkan hasratnya untuk membawa gereja secara lebih nyata menjadi bagian dari solusi persoalan ketidakadilan dunia.
Persoalan ketidakadilan dalam wilayah ekonomi memang telah
menjadi sebuah isu panjang dalam sejarah peradaban. Isu ini bahkan telah
melahirkan pemikiran-pemikiran yang saling bertarung dan melahirkan tokohnya
masing-masing. Pertarungan antara kaum borjuis dibawah semangat kapitalisme
global dan kaum proletar dengan gerakan sosialisme sampai detik ini masih
berlanjut. Pada titik ini kita paham bahwa dunia sepenuhnya masih berada dalam
gejolak ketidakadilan yang kadang menimbulkan gesekan bahkan perang.
Dalam konteks hidup kita di Indonesia, kita melihat ironi yang
sama. Ironi dimana negeri yang berdiri
diatas kekayaan alam yang luar biasa masih terjebak dalam ketidakadilan
ekonomi. Lebih dari itu mentalitas korup yang merasuki sistem dan kebijakan
turut melanggengkan kemiskinan di usia republik yang telah memasuki tahun ke
68. Korupsi dan permainan busuk di balik kebijakan ekonomi telah menempatkan
rakyat sebagai pihak yang harus menanggung beban. Sementara itu banyak politisi
yang menjadi pemegang mandat di pemerintahan pun tampaknya lebih banyak
menempatkan kepentingan golongan dan partainya diatas kepentingan masyarakat
yang lebih luas.
Semangat keadilan sosial sebagai salah satu dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara yang tegas dinyatakan dalam Pancasila dan dirumuskan
dalam Pasal 33 UUD 1945 pun tak lepas dari sabotase kepentingan pihak tertentu.
Kita bisa melihat semangat mengelola kekayaan alam untuk sebesar-besarnya
kepentingan rakyat sesungguhnya sampai detik ini belum lagi menunjukkan
wujudnya. Melalui berbagai cara kepentingan “invisible hand” menggerogoti
dan memanfaatkan mental korup dari sebagian politisi kita. Pancasila itu
sendiri dibiarkan layu tanpa berkembang ditengah menguatnya arus
fundamentalisme yang secara terang-terangan menyerangnya.
Sebagian dari kita barangkali melihat fakta ini sebagai sebuah
realitas biasa. Sebab puluhan tahun kita membiasakan diri dengan kondisi yang
sebenarnya tidak adil. Kita telah terbiasa dengan sistem dan struktur ekonomi
yang timpang tanpa mampu bertindak signifikan. Sebagian besar lagi dari kaum
muda kita bahkan apatis menghadapi situasi ini dan memilih untuk tidak
memikirkannya. Namun pada akhirnya situasi ketidakadilan ini akan semakin
tampak dalam wajah yang lebih mengerikan bila kaum muda Indonesia sebagai
pewaris masa yang akan datang tidak juga membangun keterlibatannya.
Kritik tajam Paus Fransiskus terhadap ketidakadilan ekonomi
sebagai sesuatu yang tidak bermoral mesti menjadi salah satu refleksi
kita. Bagaimanapun perekonomian yang juga dipengaruhi oleh kebijakan
politik mesti mendorong kita untuk semakin kritis terhadap isu ketidakadilan
ini. Semakin menguatnya apatisme terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan
isu sosial, ekonomi dan politik akan makin menguatkan cengkeraman monster
ketidakadilan dalam kehidupan kita. Kita perlu membangun aksi yang lebih dari
sekadar mengeluhkan kenaikan harga barang –barang kebutuhan hidup maupun
mahalnya biaya pendidikan. Kita perlu membangun sikap mawas diri dan
keterlibatan dalam setiap hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Bagi mereka yang merasa peduli dengan isu keadilan sosial namun
alergi terhadap keterlibatan dalam politik, sekali lagi kita perlu bersikap
jernih. Sebab seluruh ketidakadilan sosial dan ekonomi yang berlangsung di
republik ini dipengaruhi oleh kekuatan politik.
Berkaitan dengan ini Paus Fransiskus itu sendiri pernah berkata “Politics
is a noble activity. We should revalue it, practise it with vocation and a
dedication that requires testimony, martyrdom, that is to die for the common
good”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan catatan, komentar atau saran. Terima kasih