Merespon secara spontan kebakaran lahan yang menjebak warga di beberapa kota di Indonesia, kami menimbang hal kecil. Apa yang bisa dilakukan untuk mendukung para survivor yang kebanyakan adalah warga, bukan pengusaha dan pemilik lahan yang terbakar atau sengaja dibakar. Apa yang bisa dilakukan untuk menjadikan momen ini sebagai ajang kita membangun kesadaran tentang solidaritas dan keberpihakan bagi rakyat yang termarginalkan. Rakyat desa yang
Selasa, 29 September 2015
Minggu, 13 September 2015
Pakaian Dalam Perempuan dan Buah Gagal Paham
Membaca pemberitaan media tentang
beberapa tingkah demonstran. Selain bingung dengan tuntutan mundur yang
tidak disertai kajian intelektualitas mendalam, saya pribadi lebih kaget
dengan aksi nyeleneh beberapa demonstran. Aksi nyeleneh yang memakai
pakaian dalam perempuan sebagai simbol perlawanan tanpa artikulasi yang
jelas. Adanya jelas-jelas mengambang. Ada apa gerangan dengan
berulangnya kejadian yang memalukan demikian?
Saya bukan seorang aktivis dari kaum feminis. Tetapi jangankan mereka yang bakal muak dan marah besar dengan rendahnya nalar para demonstran, saya sendiri merasa mual. Bagaimana tidak, irisan identitas sebagai seorang yang pernah turut berdemonstrasi di jalanan membuat saya malu. Malu pada kualitas intelektual mereka-mereka yang sering gagal paham dalam menggunakan pakaian dalam perempuan di dalam sebuah aksi demonstrasi yang mestinya mewakili kepentingan publik atau kepentingan golongan yang termarginalkan. Bukan mewakiliki kepentingan segelintir orang yang berkepentingan menciptakan sensasi belaka.
Pakaian dalam perempuan yang dipakai para demonstran bagi saya merupakan ungkapan kelas pemikiraan mereka. Cara berpikir mereka selain mempermalukan diri sendiri, juga mempermalukan kekuatan sosok perempuan yang dengan taruhan nyawa melahirkan mereka. Mereka mempermalukan rahim ibunya sendiri dengan mencoba mengasosiasikan pakaian dalam wanita sebagai
Saya bukan seorang aktivis dari kaum feminis. Tetapi jangankan mereka yang bakal muak dan marah besar dengan rendahnya nalar para demonstran, saya sendiri merasa mual. Bagaimana tidak, irisan identitas sebagai seorang yang pernah turut berdemonstrasi di jalanan membuat saya malu. Malu pada kualitas intelektual mereka-mereka yang sering gagal paham dalam menggunakan pakaian dalam perempuan di dalam sebuah aksi demonstrasi yang mestinya mewakili kepentingan publik atau kepentingan golongan yang termarginalkan. Bukan mewakiliki kepentingan segelintir orang yang berkepentingan menciptakan sensasi belaka.
Pakaian dalam perempuan yang dipakai para demonstran bagi saya merupakan ungkapan kelas pemikiraan mereka. Cara berpikir mereka selain mempermalukan diri sendiri, juga mempermalukan kekuatan sosok perempuan yang dengan taruhan nyawa melahirkan mereka. Mereka mempermalukan rahim ibunya sendiri dengan mencoba mengasosiasikan pakaian dalam wanita sebagai
Jumat, 04 September 2015
Paradoks Pengungsi Timur Tengah di Eropa
[caption caption="Karikatur yang menunjukkan paradoks di Timur Tengah"][/caption]
Ketika mendapati kartun ini pada dinding sosial media seorang teman di Italia, saya termenung sejenak. Menyadari betapa dalamnya pesan yang pantas kita renungkan. Sebuah paradoks dari sebuah isu global tentang pengungsi Timur Tengah dan dari berbagai negara lain termasuk dari Afrika yang kini membanjiri Eropa.
Saya pribadi merasa bahwa tak pantas ada seseorang yang membutuhkan pertolongan ditolak. Apalagi seperti para pengungsi dari Suriah yang terombang-ambing di lautan hingga baru-baru ini foto seorang bocah pengungsi yang tewas terdampar di tepi pantai, menampar wajah dunia kita. Bagaimana pun kita paham sebagaimana menerima tamu, rumah kita selalu punya aturan sendiri. Namun mengusir tamu dan membiarkan mereka mati di depan pintu rumah kita rasanya sungguh membuat miris.
Itulah sebabnya dalam pandangan pribadi saya, Eropa mesti menyiapkan kebijakan lebih arif dalam menerima para pengungsi. Terlepas bahwa Eropa mesti menaruh prioritas kemanusiaan pada
Ketika mendapati kartun ini pada dinding sosial media seorang teman di Italia, saya termenung sejenak. Menyadari betapa dalamnya pesan yang pantas kita renungkan. Sebuah paradoks dari sebuah isu global tentang pengungsi Timur Tengah dan dari berbagai negara lain termasuk dari Afrika yang kini membanjiri Eropa.
Saya pribadi merasa bahwa tak pantas ada seseorang yang membutuhkan pertolongan ditolak. Apalagi seperti para pengungsi dari Suriah yang terombang-ambing di lautan hingga baru-baru ini foto seorang bocah pengungsi yang tewas terdampar di tepi pantai, menampar wajah dunia kita. Bagaimana pun kita paham sebagaimana menerima tamu, rumah kita selalu punya aturan sendiri. Namun mengusir tamu dan membiarkan mereka mati di depan pintu rumah kita rasanya sungguh membuat miris.
Itulah sebabnya dalam pandangan pribadi saya, Eropa mesti menyiapkan kebijakan lebih arif dalam menerima para pengungsi. Terlepas bahwa Eropa mesti menaruh prioritas kemanusiaan pada
Langganan:
Postingan (Atom)